Cerpen BATI

Devi Khofifatur Rizqi
Parasnya tampan menawan. Dalam arena kebahagiaan lelaki itu tersenyum. Bibirnya tersungging melihat betapa tampan wajahnya. Wajah dengan tulang yang tegas, bibir tipis, hidung mancung serta kulit putih bersih. Semua orang mendamba, ingin menyentuh, rela bersolek demi bertemu dirinya.
Ia mendongak bangga. Aku, Bati, berjalan di tengah keramaian. Semua orang menatap lekat-lekat. Tak boleh ada satupun yang terlewat. Karena ia, Bati. Ia bisa menaklukkan siapapun dalam sekali kedip. Bahkan tanpa berkedip saja, mereka tunduk. Terlena karena dirinya. Seorang yang tampan.
Seketika senyum dalam kaca berubah menjadi bara murka. Senja mulai tergigit oleh angin malam. Rona senja menjadi kebiru-biruan hingga menjadi gelap. Terungkap sudah dirinya yang sejati. Hatinya keras bagai batu. Kasar. Berbentuk tak simetris. Begitu pula sikapnya, sama seperti apa yang tergambar dengan hatinya.
Ia terduduk di tepi dipan. Dalam keremangan cahaya rembulan yang masuk melalui kisi-kisi jendela, tampak siluet abstrak benda dalam kamar. Lemari, satu kursi, dipan rotan dengan tikar sebagai alas. Semuanya berantakan. Selalu ada cacat dalam benda-benda itu. Entah lemari tergores cakaran kuku, atau bahkan tanah tempat berpijak yang dipenuhi bulu.
Karena ia monster. Seperti saat ini. Tubuhnya besar berbulu lebat. Matanya merah. Gigi yang dulunya ramping kini bertaring. Ia sudah tak bisa berbicara, namun hanya berkoar, berteriak, melolong sepanjang malam.
Bati teringat kilas balik fragmen masa lalu yang mengisi lorong otaknya. Akibat dirinya yang menjadikan dunia sebagai medan laga ketampanan dibumbui rasa sombong, seorang petapa bernama Bantuk mencibirnya kala Bati melewati lapak dagangannya di pasar.
“Dasar kau. Apalah guna ketampanan yang hanya dari bapak dan ibumu saja. Sadar diri kau, kau hanyalah seorang yatim-piatu yang hidup menjadi beban pamanmu!”
Setiap hari Bantuk itu mengatakan hal yang sama berulang-ulang. Perkataan itu lama-kelamaan membuat Bati geram.
Ketika matahari mulai lengser kembali ke dalam peraduan, serta saat orang-orang sudah membawa pulang dagangan, ia mendekati lapak Bantuk. Tampak pula Bantuk yang tengah membereskan barang dagangan.
“Pergi kau dari sini. Setiap hari ke pasar tidak membeli hanya pamer wajah. Tidak bermutu, kau tak lebih dari pelacur yang menjual badan. Bedanya kau menjual wajah.”
Bati terhenyak. Batinnya koyak. “Apa? Pelacur? Memangnya ada pelacur yang setampan aku? Pelacur untuk perempuan, bukan untuk lelaki. Hei tua bangka, kau ini, apa? Lihat dulu dan sadar diri. Rambut putih dan kumuh saja berani mengataiku.”
“Meskipun kumuh, aku tak pernah merepotkan orang lain tidak seperti kau yang hanya membuang-buang waktu dan memamerkan wajah.”
Amarah Bati memuncak. Ia menuding Bantuk, “Mereka dan kau sama saja! Manusia buruk rupa!”
“Bilang apa kau ini? Kau tahu, yang terpenting dari manusia adalah hatinya! Bukan wajahnya! Kau akan merasakan bagaimana rasanya menjadi orang buruk rupa. Bukan hanya itu, kau lebih dari buruk rupa. Tak punya hati dan tak punya wajah tampan!”
Terbalut keremangan senja menuju malam. Tubuh Bati membesar, besar, dan kian membesar. Bajunya robek. Ia menjadi manusia raksasa berbulu. Kulitnya berotot keras dan berwarna abu-abu. Ditambah lagi sepasang sayap yang lebarnya dua hasta.
Bati melotot kepada Bantuk. Ia tak percaya sekaligus marah. Entah bagaimana, ia mengepakkan sayap dan kembali ke rumah.
Bati teringat betapa ngilu hatinya. Pilu. Bagaimana ia sebatang kara dan tak ada yang tahu sesosok itu adalah dirinya. Monster kelelawar itu adalah dirinya. Bati. Namun manakala ia menjadi monster, hasrat keduniawian binatang bergejolak dalam dirinya. Secepat kilat. Ia kini tak pandang bulu. Menjadi sosok yang beringas, keras, dan sangat ditakuti.
Ia harus memakan sesuatu. Daging segar berkulit mulus bayi tampaknya nikmat. Meskipun Bati tinggal dalam gubuk, gubuk itu dekat gunung Kairatu, sebuah gunug api yang telah mati dengan jaringan gua dalam di pulau Seram, Maluku.
Kini Bati memasuki area perkampungan. Perkampungan itu sangat sepi dan dingin. Hanya obor api yang menyala di beberapa tempat. Tampaknya warga kampung sudah terbuai dalam mimpi.
Sepertiga otak manusia Bati masih dapat berpikir waras. Ia mendengar ada seorang anak yang baru lahir kemarin. Bati mendarat di sebuah gubuk kecil keberadaan bayi itu. Tercium aroma baru dari bekas darah yang segar. Bati menunduk menilik dalam kamar. Itu dia. Bayi itu berada di ketiak emaknya.
Tanpa segan dan ampun, Bati merobohkan gubuk itu. Gubuk yang hanya terbuat dari atap jerami itu langsung rubuh. Perkampungan seketika riuh. Obor menyala satu-persatu. Para lelaki kekar keluar dari rumah membawa parang dan obor. Mereka berlarian menuju kearahnya.
“SUTI! AWAS ANAKMU!”
“BATI! BATI! JAGA ANAK KALIAN!”
“AWAS! BATI! KITA BUNUH BATI BERSAMA-SAMA!”
Bati tidak tinggal diam. Kuku-kukunya sudah meruncing. Ia menggoreskan di tanah sebagai bahan percobaan. Kemudian ia melolong panjang. Lalu ia melihat tajam satu persatu warga yang berlari ke arahnya.
Bati justru terbang ke arah mereka. Mereka seketika kocar-kacir melalang buana. Obor yang tergenggam terhempas. Mereka lari ketakutan. Berlari. Bati menerkam satu orang dengan kakinya. Lelaki paruh baya itu berteriak, “TOLONG! TOLONG!!!!”
Semua orang yang awalnya berani kini beringsut. Mereka hanya mengintip dari balik tirai jendela. Semua orang menutup rapat rumahnya. Bati meringis. Ia membatin, betapa tragisnya manusia. Hanya suka di awalnya saja, namun ketika seseorang meminta tolong, lebih memilih keselamatan dirinya. Egoisme yang sesungguhnya tampak ketika seseorang dalam kondisi terdesak.
Bati membawa terbang lelaki paruh baya itu, “TOLONG AKU! KUMOHON!!!”
“KUMOHON LEPASKAN AKU!!!!!!!!!!!!”
Bati melepaskannya. Lelaki itu jatuh dari ketinggian 200 meter dan mati dengan sekujur tubuh retak dan berdarah. Semua mata yang menyaksikan hanya menahan napas serambi menangis sedu.
Bati tak mau tahu, toh ia enggan memakan daging manusia dewasa yang keras dengan tulang. Maka ia kembali ke gubuk kecil. Melihat kembali orang tua dengan anak yang masih segar bugar. Si Bapak meyakinkan sang Ibu untuk melepaskan anaknya.
“Lepas saja. Meski ini anak pertama kita, namun ini demi keselamatan kita, Suti.”
Orang yang dipanggil Suti itu menangis. Ia tak mau melepas anaknya, tetapi si bapak melepaskan anak mereka dari gendongan Suti, lalu meletakkan di lantai. Memang selalu tragis. Kembali lagi, Bati mencengkram bayi itu dengan kuat lalu membawanya pulang.
Sepeninggal Bati, warga berkerumun. Sebagian kepada keluarga Suti, lalu yang lain kepada lelaki paruh baya yang sudah meninggal. Mereka menggotong lelaki itu serta dikembalikan ke rumah. Mereka melakukan prosesi pemakaman singkat pada hari itu juga. Mau bagaimana lagi, karena tidak mungkin ditunda. Tubuh sudah hancur lebur. Paras sudah tak berbentuk.
Sebenarnya tingkah Bati ini sudah hal biasa. Tiap hari mereka kehilangan bayi. Terutama bayi yang baru lahir. Namun hal ini sudah tak bisa dibiarkan lagi. Lama kelamaan, penduduk akan menyusut dan tidak lagi punya keturunan. Memangnya semudah itu melahirkan bayi.
Maka Penghulu Adat, Pak Subadi memiliki rencana untuk mengadakan pembacaan doa-doa mantra kepada Bati. Mereka berharap Bati menghilang selamanya, atau bisa kembali menjadi manusia.
Kini di sudut langit bulan melingkar genap benderang, para warga duduk di halaman kemudian menyiapkan sesaji yang dikhususkan untuk Bati supaya ia segera terlepas dari kutukan. Lebih besar harapan Bati kembali menjadi manusia biasa seperti dahulu. Alunan lagu klasik seperti nyanyian mantra di ucapkan oleh warga untuk menghidupkan setiap kata dalam syair Bati.
“Ayah, kenapa kita melakukan ritual jelek seperti ini? Apa gunanya?” Tanya seorang gadis cantik berambut ikal kepada ayahnya, Pak Subadi yang sedang menyiapkan sesaji.
“Ini untuk membebaskan Bati dari kutukannya, supaya ia tak memakan bayi dan anak kecil lagi.” jawab ayahnya singkat.
“Ini tidak adil  ayah. Kenapa kita mau-maunya dibodohi oleh Bati yang asal-usulnya tak jelas itu.” sahut Galam, perempuan pemilik rambut ikal itu.
“Lam, sudah cukup. Ritual ini harus ayah lakukan. Ini semua demi warga kampung disini.” Jawab penghulu adat itu seraya melirik kearah Galam.
“Kenapa kita harus melakukan ritual ini jika kita bisa bersama-sama membunuhnya?”
“GALAM! Kau ini perempuan yang cantik, tidak bisa seenaknya membunuh seseorang. Terlebih dia itu Bati! Dulunya orang desa kita juga!”
Galam terenyak. Ia lamat-lamat menyadari bahwa ayahnya itu benar.
Suasana kampung senyap. Perdebatan itu usai. Angin berhembus teramat kering. Tak ada bebunyian lain kecuali suara nyanyian dari syair-syair yang di alunkan oleh warga di  kampung ini. Gesekan ranting yang hampir membuat suasana terasa mencengkam pun kini tak terindahkan lagi.
BRUK!!!! Suara itu mengagetkan semua orang yang duduk melingkar dihalaman. Ditambah kengerian suasana malam hari yang semakin membuat merinding.
Tiba-tiba saja Bati muncul dari arah belakang Gulam. Bukan, bukan Bati yang seperti vampir berwujud kelelawar. Melainkan sosok Bati yang mempesona. Semua orang di sana takjub sekaligus terkejut.
“BATI? Kaukah itu? Bagaimana kau bisa kembali, Nak?” tanya bibinya.
Bibi, Paman, sanak saudara yang dekat dengannya langsung berbondong-bondong menghampiri. Bibinya memegang lembut pipi Bati. Ini malam hari, tak dapat dinyana dan diduga Bati kembali lagi ke wujud asalnya.
Bibi meraba pipi Bati. Rahang Bati begitu kokoh, pipinya masih halus meski ada beberapa bekas sayatan luka, tetapi ia tetaplah Bati yang dulu. Bati yang diidam-idamkan seluruh kaum hawa untuk dijadikan pendamping sehidup semati.
“Bati?  Apa saja yang telah terjadi, Nak...”
Suasana menjadi pecah dan penuh air mata. Air mata kerinduan, kebahagiaan, juga air mata rasa khilaf atas apa yang telah terjadi selama ini.
“Bati, kembalilah Nak. Kemarilah hidup bersama kami. Kau bisa menikahi siapapun, dan makan dengan lezat. Tak perlulah kau memakan lagi bayi-bayi. Kau bisa makan daging babi, sapi, kerbau, apapun semaumu disini..” ucap Bibinya berderai airmata.
Bati mengiyakan. Di sana ia melihat Galam. Perempuan berambut ikal yang manis.
“Bagaimana jika aku menikahi perempuan itu, Bibi?” tanya Bati menunjuk Galam.
Semua mata tertuju pada Galam. Galam dalam kemilau cahaya bulan, serta semilir angin begitu cantik malam itu. Sepasang wanita dan pria yang serasi. Seluruh warga desa mengangguk setuju.
“Sebelum itu, aku mau bicara dengan Bati berdua, Bibi..”
Mereka berjalan dalam keheningan malam. Mereka berjalan dekat dengan danau. Mereka terhenti ketika menghadap danau. Hening. Hanya suara malam dan cahaya rembulan yang teramam terhalang pohon-pohon.
“Bati.. Terima kasih.. Sudah memilihku menjadi istrimu. Aku bahagia.” kata Galam membuka pembicaraan. Galam memeluk Bati dalam diam.
Begitu tentram. Itu yang terbias dalam pikiran Bati. Sudah lama ia tak diperlakukan seperti manusia. Ia merindukan sentuhan manusia. Rindu.
“Sayangnya aku tidak bisa menikahimu. Aku tak mau memiliki suami sepertimu dimana bayi sudah mendarah daging padamu” Galam menusuk jantung Bati. Bati tersentak terkejut.  Galam menusuknya. Berkali-kali seolah itu adalah hal demi pembalasan dendam demi jiwa-jiwa yang telah direnggut Bati.
“Tak perlu lagi warga ini risau karenamu. Tak perlu lagi ayahku membuat ritual seperti ini. Merepotkan! Membuang-buang waktu dan tenaga!”
Darah muncrat kemana-mana. Amis sudah. Jantungnya nyeri. Ia merasakan jantungnya masih berdetak meski begitu pelan. Gelenyar darah yang menetes di dalam jantungnya pun terasa. Tubuhnya mulai kaku. Begitu menyakitkan. Apa salahnya? Apa salah hidupnya selama ini? Sepahit inikah hidup di dunia? Ia hanya ingin memperbaiki kesalahan, kini ia sudah menjadi manusia namun kenapa? Kenapa? Mengapa saat ia baik manusia tidak semuanya baik?
Mata Bati menerawang menatap Galam. Ia menyentuh pipi Galam yang selembut sutera, “Galam.. kuharap... kau juga... kau juga... mengerti... kesendirianku.....” ujar Bati terpatah-patah. Ia sudah mati. Mati dengan segenap penyesalan.
Galam tertegun. Anggota tubuhnya membesar serempak. Tangan, badan, kepala, kaki, membesar. Menjadi besar. Semakin besar. Ia menjadi kelelawar besar. Galam terengah-engah. Ia terlambat. Terlambat yang tak usah mendesah.
November 2017

Komentar

Postingan Populer