Rinai dan Bagas
Aku tidak habis pikir. Ternyata orang-orang akan terasa asing bila sudah patah hati. Mereka kerap kali mengumpat untuk meredamkan sakit hatinya. Begitu pula dengan sahabatku. Rinai. Sejak tak lagi menjalin hubungan dengan kekasihnya ia semakin terasa sepi. Pandangannya setiap hari kosong. Mungkin saja otaknya sekarang telah menjadi kosong pula.
Rinai adalah sahabatku sejak SMA. Dulunya kami selalu bersama-sama. Hingga sampai ia telah merasakan sakitnya cinta dan merasa kesepian. Rinai menepi. Ia menghindariku. Bukan hanya aku yang perempuan itu jauhi. Tampaknya kehidupan ini pun semakin jauh dengannya.
Bukankah perempuan hanya akan sembuh patah hatinya bila ia telah menemukan cintanya kembali? Sayangnya tidak dengan Rinai. Kekasih yang meninggalkannya adalah cinta pertamanya. Bagaimana mungkin laki-laki itu tergantikan dengan yang lain kalau sedari SMA mereka terus bersama.
Kini Rinai bukan lagi anak SMA. Ia telah menjelma menjadi mahasiswa. Perempuan itu merasa hari-harinya semakin berat tanpa kekasihnya. Bagas. Kekasih yang menemaninya sedari SMA adalah Bagas. Bagi Rinai laki-laki ini memiliki kehangatan tersendiri dan tidak seperti anggapannya. Dan ternyata apa yang di duga oleh Rinai telah salah.
Berhari-hari ia bertahan dengan rasa sesak didadanya. Aku sudah hampir tak punya cara untuk membujuknya supaya keluar kamar. Sebab sudah hampir seminggu ia tak masuk kuliah. Padahal dua minggu lagi ada Ujian Akhir Semester genap. Itu artinya Aku dan Rinai tidak lagi menjadi mahasiswa baru. Namun apa daya, cinta sudah kandas. Beberapa nasihat yang aku kirimkan melalui pesan pun hanya dibaca olehnya. Ia bahkan tak membalasku.
Aku sudah terlalu lelah untuk memikirkan Rinai. Lalu apalagi yang bisa dia lakukan? Pesan terakhir yang aku kirimkan ialah menyuruhnya untuk belajar ikhlas. Sebab, dengan atau tanpa laki-laki itu masa depannya tidak boleh hancur. “Sudah pukul setengah sebelas malam, aku ingin tidur dulu. Semoga Rinai baik-baik saja dan berharap besok dia membalas pesanku.” Batinku berucap sebelum aku merebahkan tubuhku.
Pagi ini matahari begitu ramah. Sinarnya yang hangat membuat tubuhku sedikit berkeringat. Aku suka pagi ini. Burung-burung ramai berkicau di atas pohon samping jendela kamarku. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku segera meraih ponselku. Ternyata ada dua pesan singkat dari Rinai. Ketika aku ingin membalasnya dia malah menelponku.
“Haloo Lin,” sapanya dalam telepon mengawali pembicaraan.
“Hai, Rin. Apa kabar? Aku senang kau menghubungiku lagi. Aku sudah rindu denganmu.” Balasku dengan cepat dalam obrolan pagi itu.
Entah rasa apa yang menghampiri sahabatku itu hingga dia mau menghubungiku kembali. Dan kali ini, dia mengajakku bertemu untuk pertama kalinya setelah berhari-hari tanpa kabar karena patah hatinya. Aku tidak tau tentang apa yang dia rencanakan. Yang terpenting dia sudah merasa lebih baik dengan patah hatinya.
Pukul sepuluh di kedai kopi pojok kota ini aku menunggu Rinai. Seperti biasa, aku hanya memesan Capuccino late. Aku tidak memesan makanan. Karena bagiku, makan terlebih dahulu sebelum seseorang yang ditunggu belum datang adalah tidak sopan. Kedai kopi ini merupakan tempatku dan Rinai menghabiskan waktu. Suasananya yang tenang serta desain interior klasik membuat aku dan sahabatku itu betah berlama-lama di tempat ini. Selain iitu di tempat ini ada wifi gratis yang membantuku untuk mengakses internet dalam mengerjakan tugas-tugas kulliah. Dan disini pula Rinai bertemu dengan Bagas.
Bagas. Laki-laki ini sangat pandai memikat hati Rinai. Setelah putus dengan Rinai, aku mencoba mencari tahu mengenai permasalahan apa yang sedang keduanya alami sampai mengorbankan cinta dari keduanya. Ternyata benar. Hanya masalah sepele saja yang menghinggapi laki-laki itu dan berpikir untuk putus hubungan dengan Rinai. Dasar pengecut. Alasan yang dimiliki oleh lelaki itu perihal sudah tidak ada rasa dan sudah tidak adanya kecocokan. Alasan basi. Dan yang paling parah, ternyata Bagas telah memiliki pengganti Rinai sebelum mereka putus. Orang-orang yang seperti itu adalah orang-orang yang takut kesepian. Lelakinya Rinai termasuk orangnya.
“Sudahlah, Rin. Jangan lagi kau pikirkan laki-laki brengsek itu. Di luar sana masih banyak laki-laki yang lebih baik darinya. Sekarang berhentilah menangisinya.” Ucapku kepada Rinai kala dia telah sampai di kedai kopi ini setelah hatinya tenang.
Perempuan ini ternyata masih menyembunyikan patah hatinya. Dia terlihat getir. Sungguh, hal yang paling menyedihkan di dunia ini adalah melihat perempuan yang sedang patah hati. Sejak dia datang ke kedai kopi ini, dia hanya diam. Aku memulai kembali pembicaraan.
“Rin, kau mau makan? Aku pesankan untukmu ya?”
“Alin, tidak perlu. Aku baru saja makan sebelum kesini.” Jawab Rinai dengan nada lembut.
“Apa yang ingin kau bicarakan Rin?” tanyaku pelan.
Aku melihat mata Rinai yang masih sembab. Tapi sekarang sudah mendingan dengan hatinya.
“Aku akan melupakan Bagas, Lin.”
Kata-kata itu terucap pasrah dari mulut Rinai. Aku bingung harus senang atau sedih dengan apa yang diucapkannya. Tapi rasanya ada kebahagiaan menusuk hatiku. Setelah ini apa yang aku impikan sudah pasti terwujud. Tapi apakah aku adalah sahabat yang jahat karena menyuruh Rinai untuk mengikhlaskan mantan kekasihnya? Ah itu tidak penting.
“Aku sudah lelah menghadapi kehidupan yang bertentangan dengan harapanku. Bukankah tentang jodoh memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan? Saat ini aku hanya ingin fokus dengan kuliahku. Biar saja aku yang kecewa karena cinta. Dan tidak boleh orang yang aku sayangi kecewa karena aku.” Sambungnya.
Aku memeluk Rinai untuk memberi sambutan hangat atas keputusannya itu. Hingga saat ini, dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Semua yang dia inginkan selalu terkabul. Termasuk dalam memiliki Bagas. Tapi kini berbeda. Dia sudah menghapus segalanya tentang Bagas. Dan yang akan dia lakukan dalam waktu dekat ini adalah menyibukkan diri. Supaya lupa akan masa lalunya dengan laki-laki itu.
Satu bulan setelah pertemuanku dengan Rinai di kedai kopi itu. Aku diselimuti rasa takut dan penuh khawatir. Saat ini Rinai telah berubah. Ia tak lagi peduli dengan patah hatinya. Kini malah dia menjadi aktivis di kampus. Kuliahnya pun lancar. Persahabatanku dengan Rinai pun semakin akrab. Namun aku tidak seperti Rinai. Aku masih seperti dulu. Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja. Aku lebih senang mengikuti ajang perlombaan daripada menjadi aktivis kampus. Tapi bukan mengenai perbedaan diantara kami yang aku cemaskan. Ini soal Bagas. Mantan kekasih Rinai.
Rinai kini menjelma menjadi perempuan yang tegar. Ia sudah bisa memfilter dengan siapa dia akan berteman. Namun juga tidak membatasi kalau ada orang yang ingin berteman dengannya. Aku kagum dengannya yang pintar, cantik dan orang tuanya selalu memberi kasih sayang untuknya. Setiap ada waktu luang dia selalu berbagi cerita denganku. Tapi rasanya setiap kali aku dekat dengan Rinai perasaanku selalu merasa bersalah.
Malam ini dia tidur di kamarku. Hujan turun begitu deras. Orang tuanya menyuruhnya untuk menginap saja dirumahku. Aku pun tidak keberatan akan hal itu. Rinai sudah terlelap. Aku menatap jalanan yang basah karena hujan. Saat itu pula aku merasakan betapa tulusnya kau menjadi sahabatku. Namun jauh dalam diriku, aku masih saja dilanda ketakutan. Bukankah segala hal yang ditakutkan ketika dekat dengan sahabat akan seketika hilang.
“Seandainya kau tahu, Rin. Bahwa perempuan yang menjadi kekasih Bagas sebelum kau putus dnegannya adalah aku. Masihkah kau ingin menjadi sahabatku?”
Hujan terus mengguyur. Seperti menguatkan amarah perasaanmu atas perbuatanku kali ini. “Rin, maafkan aku.” Aku terlelap di atas sofa yang berada di kamarku.
Magelang, 15 Februari 2018
Komentar
Posting Komentar