Takbiran di Kampung



    Kemarin malam orang-orang sangat sibuk. Berkeliling ke setiap gang di kampungku. Anak-anak kecil pun membawa obor dengan berwajah gembira. Mereka semangat menyerukan gema takbir dengan peci miring di kepalanya. Pernak-pernik hasil buatan tangan pemuda-pemuda kampung pun tak luput dibawa. Jalanan kampung sungguh ramai. Meski tidak seramai saat malam takbir Idul Fitri. Meski begitu, kalau ada yang ramai pasti ada yang sepi. Dan yang kembali sepi saat malam takbiran di kampungku hanyalah masjid. Hanya Mbah Darso dan beberapa orang tua saja yang meramaikan masjid. Takbir yang dilantunkan di masjid kampungku pun tidak begitu merdu, namun tetap menggetarkan.

     Pukul sepuluh malam, gema takbir yang mengelilingi kampungku tadi sudah tak bernyawa. Anak-anak kecil, pemuda-pemuda, juga ibu-ibu yang ikut sudah kembali ke istananya masing-masing. Mereka akan menyiapkan tenaga untuk bangun pagi supaya tidak terlambat berangkat sholat Id di masjid. Dan masjid pun sudah sepi, lampu-lampu juga sudah mati, kecuali lampu di serambi masjid. Di sana ada Mbah Darso, Cak Abu dan Mat Tholib. Mereka bersandar di tiang masjid yang kokoh. Dan terjadilah beberapa dialog kecil yang diawali dari Cak Abu dan Mat Tholib.

   "Mat, aku ini kok heran ya. Zaman semakin tua tapi pikiran orang-orangnya tidak tambah tua. Malahan jadi seperti anak-anak pikirannya." celetuk Cak Abu kepada Mat Tholib yang bersandar sambil menghisap rokoknya.

    "Kok iya ya, Cak. Aku juga heran kalau seperti ini. Mereka malah meramaikan jalanan dan menyepikan masjid. Toh tadi yang takbiran hanya aku, sampeyan dan Mbah Darso saja. Kalau seperti ini, masjid ya bisa tutup juga Cak. Kalau menurute jenengan pripun Mbah Dar?" Mat Tholib melontarkan pertanyaan untuk Mbah Darso.

    "Yo ora piye-piye, Mat." jawab Mbah Darso sambil tertawa cekikikan.
   "Lha kok malah ngguyu cekikikan to Mbah?" ujar Cak Abu.
     "Harusnya ya khawatir dengan keadaan seperti ini Mbah. Sampeyan kan sudah lama hidupnya. Apa tidak merasakan hal yang aneh dengan sepinya masjid di Hari Raya Iduladha ini?" tambah Mat Tholib.

    Sementara itu, Mbah Darso masih tertawa cekikikan. Ia merasa geli sendiri mendengar Cak Abu dan Mat Tholib yang sok-sokan membahas orang lain yang tidak mau takbiran di masjid. Cak Abu dan Mat Tholib saling tatap, karena Mbah Darso cekikikan sendiri.

      "Lha kok masih cekikikan to Mbah? Apa sampeyan kesurupan?" celetuk Mat Tholib sambil menggoyangkan tubuh Mbah Darso yang bersandar di tiang masjid.
   "Kalian itu kok lucu sih. Makanya aku cekikikan begini." ujar Mbah Darso saat selesai cekikikan.

    Cak Abu dan Mat Tholib masih saling pandang. Mereka terheran. Padahal apanya yang lucu? Cak Abu dan Mat Tholib hanya menyampaikan keresahannya tentang masjid yang sepi saat malam takbiran. Memang tidak salah juga sih kalau Mbah Darso cekikikan mendengarnya. Pasalnya, Mat Tholib dan Cak Abu tidak pernah merasa resah sejak berada dekat dengan Mbah Darso.

    "Begini loh Mat Tholib, Cak Abu. Aku ini memang sudah tua. Aku juga sudah merasakan manis pahitnya kehidupan. Tapi aku kok biasa saja ya dengan sikap orang-orang yang tidak meramaikan masjid." Mbah Darso semakin cekikikan setelah berbicara.

    "Kok malah begitu toh Mbah." ujar Cak Abu yang geram dengan Mbah Darso.
   "Kita ini tidak perlu memandang resah orang lain, Cak. Malahan harus bersyukur, orang-orang kampung masih mau mengumandangkan takbir. Nanti kalau sudah tua seperti saya ini, mereka akan tau sendiri kemana harus takbiran. Ya ke masjid, karena sudah tidak kuat jalan jauh lagi." ucap Mbah Darso yang cekikikan lagi.
   "Jadi yang takbiran di masjid ini orangnya sudah tua-tua ya Mbah?" tanya Mat Tholib.
     "Lha iya toh, Mat. Memangnya tadi kamu tidak memperhatikan siapa saja yang takbiran di masjid?"
       "Ya memperhatikan, Mbah. Tadi kan ada sampeyan, saya, Cak Abu, Mak Siti, dan para orang tua lainnya." jawab Mat Tholib.
     "Sik, Mat. Aku kok disebut? Aku kan masih muda." Cak Abu membalas Mat Tholib.
       "Ndak usah ngimpi, Cak. Cucu sudah dua saja masih ngaku muda." Mat Tholib pun kembali membalas. Mbah Darso semakin cekikikan melihat polah tingkah Mat Tholib dan Cak Abu yang seperti anak kecil.
      "Sudah-sudah. Aku mau pulang dulu. Besok harus nyembelih 3 sapi dan 7 kambing. Pamit ndisik yo Mat." ujar Mbah Darso.
     "Nggih, Mbah. Hati-hati." jawab Mat Tholib dan Cak Abu bersamaan.

  Malam semakin larut. Waktu menunjukkan pukul satu pagi. Mbah Darso pamit pulang. Sementara, Cak Abu dan Mat Tholib masih di serambi masjid sambil menjaga kampung. Gema takbir sudah sunyi. Orang-orang tertidur pulas, menyiapkan tenaga menyambut Hari Raya Iduladha di kampung.

Potrobangsan, 11 Agustus 2019

Komentar

Postingan Populer