Karena Sebuah Wabah

(gambar diambil dari kontan.image)


“Kalau saya terus-terusan mengikuti anjuran pemerintah, ya anak-istri saya tidak bisa makan pak!” Begitulah protes seorang lelaki berumur empat puluh tahun kala pihak pemerintah desa mensosialisasikan bahaya pandemi covid-19 melalui mobil sambil berkeliling.

Hampir satu bulan sejak adanya aturan pemerintah terkait pandemi covid-19 ini menganjurkan warganya agar tetap di rumah saja. Akan tetapi, aturan tersebut tidak berlaku di kampungku. Di sini orang-orang masih beraktivitas laiknya hari-hari biasa sebelum adanya wabah tersebut. Anak-anak usia sekolah pun masih asik bermain dan tertawa riang. Ibu-ibu yang masih memiliki anak balita juga masih senang ngobrol dan tertawa bersama. Seperti tidak ada rasa takut dengan penyerangan virus itu.

Pernah suatu hari, saat aku mengerjakan tugas kuliah di ruang tamu. Aku mendengar percakapan orang-orang kampung yang sedang istirahat dari kerja baktinya mengecor jalanan depan rumah. Ada yang bilang bahwa virus korona ini adalah sebuah ujian dari Tuhan dan tak perlu dikhawatirkan. Terlebih lagi sejak pemerintah mengumumkan agar masyarakatnya selalu memakai masker kala bepergian, hal itu malah dijadikan bahan guyonan orang-orang kampungku saat istirahat dari kerja baktinya.

“Pemerintah kok lucu ya, masa semua orang disuruh pakai masker ke manapun pergi. Lah kita ini kan perginya ke sawah, kalau ke sawah pakai masker nanti bisa belang mukanya, terus pulang ke rumah, istri bisa pangling. Dikira orang asing. Pulang-pulang gak dapet jatah, eh malah diusir.” Kemudian disusul gelak tawa dari orang-orang yang mendengarkan. Aku yang mendengar candaan itu pun ikut terkekeh.

Mendengar pernyataan itu, aku pun menjadi berpikir. Orang-orang kampungku ini sebagian besar adalah petani. Mereka mendapat penghasilan dari hasil tani-nya. Jika memang para petani itu tetap di rumah mengikuti anjuran pemerintah, bagaimana nasib tanaman yang ada di sawahnya? Sudah mereka tak berpenghasilan tetap, ditambah aturan yang bikin mereka kalap. Akhirnya, mau tidak mau ya harus melanggar.

Selain itu, virus covid-19 ini juga membuat pekerjaan yang harusnya dilakukan secara berkumpul jadi terganggu. Hal tersebut juga berdampak dalam melaksanakan ibadah. Sebagian besar masjid di Indonesia sudah tidak lagi menyelenggarakn salat Jumat dan diganti dengan salat zuhur saja. Hal itu dilakukan untuk membatasi warganya dalam kegiatan berkumpul dan untuk mencegah penyebaran virus korona ini. Namun, lain halnya di kampungku. Salat Jumat masih tetap dilaksanakan.

Di kampungku sekitar ada 3 masjid berdiri dengan kokohnya. Masjid yang paling besar berada di tepi jalan raya pantura dan sudah tidak menyelenggarakan salat Jumat, masjid kedua berada di dekat jalan raya juga dan sudah tidak menyelenggarakan salat Jumat karena kedua masjid tersebut mengikuti anjuran pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran virua Korona. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh masjid di kampungku yang juga dekat dengan rumahku. Di sini, salat Jumat tetap dilaksanakan. Bahkan jika akan diusir oleh aparat warga kampungku pun tidak akan memedulikannya. Mereka beranggapan bahwa salat Jumat itu harus dilaksanakan, bagaimanapun caranya harus tetap didirikan.

"Lah ya disuruh meninggalkan kewajiban sama pemerintah kok mau-mau saja, emangnya dunia ini milik mereka apa? Seenak-enaknya nyuruh-nyuruh orang buat tidak melaksanakan kewajiban salat Jumat. Harusnya lewat musibah Korona ini orang-orang jadi tambah dekat sama Tuhannya dan menyadari bahwa diri kita sebagai manusia itu fakir di hadapan Tuhan. Lah ini malah seperti nantang sama Allah. Ingat, kita ini tidak punya daya kekuatan apa-apa kecuali dengan bantuan-Nya." Ujar salah satu pemuka agama di kampungku.

Benar juga. Hendaknya pandemi ini bisa dijadikan refleksi bahwa kita sebagai manusia memang tidak punya daya apa-apa selain meminta bantuan dari Sang Maha Pencipta. Tapi ya setidaknya kita juga tetap menjaga diri dan tidak meninggalkan kewajiban kepada-Nya. Kalau dipikir-pikir, anjuran pemerintah mengenai peniadaan salat Jumat ini bukan merupakan wujud pembangkangan kepada Allah hanya saja sebagai jalan untuk meminimalisir penularan virus.

Di sisi lain, pandemi Korona ini juga membuat anak-anak sekolah terpaksa harus belajar dari rumah. Guru-guru yang mengajar di sekolah sekitar kampungku memanfaatkan aplikasi whatsapp untuk memantau muridnya dalam belajar. Tidak hanya guru yang mengajar di sekolah sekitar kampungku, aplikasi whatsapp ini juga dimanfaatkan oleh semua guru di sekolah menengah hingga dosen di Perguruan Tinggi. Ada yang mengatakan bahwa belajar melalui aplikasi tersebut sangat berguna karena guru dapat memantau hasil pekerjaan siswa. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi bahwa siswa merasa kesulitan dengan sistem belajar tersebut sebab guru ternyata hanya memberikan soal-soal saja tanpa ada penjelasan kepada siswa. Pemicu utama orang tua siswa jengkel ya yang seperti ini nih kayaknya.

Prediksi baik mengenai lancarnya penyelenggaraan pendidikan dari rumah ini selalu ada tetapi dalam praktiknya sangat menyulitkan para orang tua siswa. Mereka beranggapan bahwa belajar dari rumah tidak membuat siswa benar-benar belajar. Sebagian anak-anak sekolah di kampungku lebih memilih bermain bersama kawan dan menyerahkan pekerjaan sekolah kepada orang tuanya. Jadi dapat dilihat, siapa sebenarnya yang sedang menempuh sekolah?

Terlebih lagi saat ini Kemendikbud telah meluncurkan program #BelajardariRumah sebagai upaya membantu terselenggaranya pendidikan bagi semua kalangan masyarakat di masa darurat seperti ini. Para guru juga  menyuruh siswanya agar senantiasa menonton program yang ada di TVRI tersebut. Sekali lagi, hal itu tidak mendapat respon positif dari para orang tua siswa. Program tersebut tidak membantu orang tua siswa dalam membimbing anaknya belajar di sekolah karena orang tua sudah kewalahan sendiri dengan pekerjaan rumah yang menumpuk.

Kemarin, pukul setengah sembilan saat akj menemani adikku menonton kartun di televisi. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu sembari menyebut-nyebut namaku.
"Itu gimana caranya belajar melalui tv itu? Orang tua kan jadi tidak bisa apa-apa di rumah. Padahal belum mencuci baju dan bersih-beraih rumah juga. Anakku malah sudah keluyuran kemana-mana. Apa soal-soal yang ditampilkan di tv itu harus ditulis semua? Kalau orang tua yang disuruh nulis ya tidak sempat menulisnya karena tayangannya juga cepat. Coba tolong bantuin menulis soal-soal tadi." Seru seorang ibu muda kepadaku.

Mendengar hal itu aku merasa kaget. Hanya kujawab seadanya sebab aku memang tidak terlalu memahami dengan benar kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan tentang belajar dari rumah. Rupanya memang benar, belajar dari rumah bagi para anak usia sekolah ini sangat merepotkan. Tidak hanya merepotkan orang tuanya tetapi juga merepotkan saya sebagai tetangga. Padahal, siapa sebenarnya yang sekolah?
Hahaha


14 April 2020

Komentar

Postingan Populer