ELEGI SANDI


Oleh; Devi KR


Pukul tiga sore di kedai kopi seberang kampus. Laki-laki itu kembali menunggu. Ia menunggu seseorang yang akan siap mendengarkan ceritanya tentang hari ini. Biasanya pukul tiga lebih lima belas menit seseorang yang ditunggu telah datang. Ternyata ini jauh lebih dari biasanya. Sekarang sudah pukul setengah empat sore dan setengah gelas Capuccino telah ia habiskan.

“Maaf aku terlambat. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan dengan dosen pembimbingku.” Ucapnya merasa bersalah.

“Silahkan duduk.” Jawabku.

Entah apa yang aku rasakan kali ini. Kecemasan yang sejak tadi menyelimuti pikiranku kini hilang seketika kala aku menatap matanya. Setelah itu aku memesankan minuman kesukaannya yaitu jus mangga dengan susu putih.

“Bagaimana skripsimu?” tanyanya terhadapku dan memecah lamunanku.

Gadis ini terus saja bertanya tentang skripsi ketika kuajak ke kedai kopi ini. Memang aku sudah terlalu lama menjadi mahasiswa. Dan kini aku memasuki semester 11 dalam kuliahku.

“Kau kuajak bertemu bukan untuk membahas tentang skripsiku, sayang.”

Setelah aku megucap kalimat itu ia tak bergeming. Hanya santai dan terlihat manis menikmati jus mangga yang sudah dihadapannya.

“Jadi, apa yang akan kau ceritakan tentang hari ini?” tanyanya lagi terhadapku.

Suaranya yang lembut menggetarkan hatiku untuk memulai cerita tentang hari ini. Aku suka perlakuannya. Tidak akan protes tentang apa yang telah kulakukan. Dan setelah aku meminum Capuccino untuk seduhan ke sembilan kalinya aku mulai bercerita.

“Dua hari yang lalu aku telah menemui dosen pembimbingku. Aku benci dengannya. Dia terus saja melecehkan kemampuanku. Bahkan dia terkesan menjatuhkanku.”

Sebagai orang yang terkenal dan pintar di kampus, aku pun tak ingin malu hanya karena wisudaku terhambat oleh skripsi yang tak kunjung jadi. Skripsi yang terhambat oleh dosen pembimbing yang tak kusukai. Hingga suatu hari aku menemukan kejadian luar biasa di kampus negeri yang dicintai ini.
Belakangan ini, aku menyelidiki tentang penyelewengan dana kampus yang seharusnya digunakan untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan. Sebagai seorang jurnalis dan aktivis di kampus, aku akan mengusut tuntas siapa dalang dari semua perbuatan ini. Dan mereka haruslah bertanggung jawab atas semuanya.

**

Pukul tiga sore di kedai kopi seberang kampus. Aku kembali menikmati kopi kesukaanku. Kali ini aku sendiri. Tak ditemani siapapun. Aku memang sengaja menepi, bahkan dari kekasihku sekalipun. Di tempat ini aku memikirkan cara untuk membuka siapa pelaku penyelewengan dana kampus itu. Berbagai cara dan taktik aku pikirkan. Tidak terasa malam kian melekat. Sudah tiga gelas Capuccino aku habiskan kali ini.

Pukul sepuluh malam aku beranjak pergi dari kedai kopi. Dan hati nuraniku terasa menyuruhku untuk bergegas kembali ke kampus. Aku menyusuri jalanan kampus. Berjalan seorang diri melewati pohon-pohon. Ternyata kampus ini lebih mirip kuburan ketika malam. Sepi dan menyeramkan. Hingga sampai aku berjalan melewati ruang rektorat. Disana masih terparkir rapi dua mobil dinas berwarna hitam yang mengkilap. Mobil itu bersih dan berplat merah.

Aku penasaran. Ada urusan apa malam-malam begini di ruang rektorat. Aku mencoba masuk ke tempat itu. Mengendap-endap. Dan benar. Ada beberapa orang yang sedang membicarakan hal-hal penting disana. Sekitar empat atau lima orang dan masih berpakaian rapi. Entah apa yang menyergap tubuhku. Rasanya jiwa menjadi wartawan dan detektif itu muncul seketika.

**

“Dasar pengecut! Bajingan! Ternyata mereka yang selama ini menggunakan dana kampus untuk kepentingan sendiri.” Batinku kala mendengar pembicaraan mereka mengenai penyelewengan dana.

Aku mengumpulkan bukti dan fakta sebagai bahan beritaku. Merekam obrolan mereka dan sebisa mungkin aku mengambil foto dalam kejadian malam itu.

“Bangsat! Orang-orang bodoh itu pandai sekali menipu. Dan anehnya kampus ini membiarkan orang-orang itu tetap menguasai kekuasaannya.” Batinku berteriak lebih keras lagi.

Hampir pukul sebelas malam. Aku bersembunyi di semak-semak samping rektorat. Para pejabat kampus itu pergi. Ah. Entah pergi atau pulang ke rumahnya aku tidak peduli. Yang terpenting aku telah memiliki fakta dan bukti. Dan malam ini harus ku selesaikan berita terbaru ini. Berita yang akan menggemparkan kampus berstatus negeri yang menjadi kebanggan. Dan besok pagi pasti akan banyak pertanyaan juga kekecewaan.

**

Pukul satu dini hari. Aku pulang ke tempat indekosku. Di tempat ini aku melihat wajah-wajah lelah dari teman-temanku yang sedang mengerjakan skripsi.

“Kau darimana?” tanya Aji menghadangku didepan pintu.

“Bukan urusanmu. Kau harus dengar mengenai apa yang aku katakan kepadamu kali ini. Dan kau harus percaya akan hal ini.”

“Memangnya apa?”

“Pukul delapan pagi nanti kalian akan mendengar berita mengejutkan di kampus ini. Dan aku akan mencatat sejarah tentang kejadian itu.”

“San, hati-hati tentang apa yang kau perbuat. Orang-orang itu bisa jadi lebih hebat dari dirimu. Dan kau juga harus ingat masa depanmu.”

Begitulah pesan Aji yang aku ingat sebelum akhirnya aku mempublikasikan mengenai berita yang aku tulis.

**

Dan benar. Seperti prediksiku. Berita pagi ini  begitu menggemparkan seluruh warga kampus. Banyak orang yang tidak percaya bahwa dua asisten rektor dan beberapa dosen lainnya adalah pelaku atas penyelewengan dana kampus untuk keorganisasian mahasiswa. Sudah aku tebak sebelumnya. Pagi ini memang banyak pertanyaan dan kekecewaan.
Sekali lagi aku merasa bahagia. Bahwa orang-orang bodoh itu telah menanggung malu atas jabatannya sendiri dan perbuatannya yang menjijikkan itu. Tapi entah kenapa setelah berita itu menyebar, rasanya pagi ini aku malas sekali ke kampus. Bahkan untuk menemui kekasihku saja aku merasa tak sanggup jika hari ini. Dan tiba-tiba di pikiranku telintas untuk pergi dari kota ini. Apa sebenarnya firasat yang menyergapku ini?

“Aku tidak takut dengan siapapun.” Ucapku sendirian di dalam indekos.
Tiba-tiba pintu terdengar gedoran yang sangat keras. Dengan wajah sayu aku membuka pintu. Ternyata hanya Aji yang terengah-engah setelah aku melihatnya.

“Sandi. Kau harus pergi dari tempat ini. Para pejabat kampus itu tahu bahwa kau yang telah menulis berita itu.”

“Kenapa aku harus takut? Bukankah aku hanya menulis fakta dan kebenaran dalam berita itu. dan kenapa pula kau menyuruhku harus pergi?” tanyaku kepada Aji.

“Dengarkan aku. Mereka akan membunuhmu. Selain itu mereka akan melakukan segala cara untuk menangkap dan mengejamu hingga mati. Mereka orang yang punya uang. Membayar orang adalah hal yang mudah walau mereka berada dalam penjara sekalipun.”

“Baik. Aku akan pergi. Namun jika sampai aku tak ada kabar, dan tak pernah kembali kau harus paham aku akan terlahir kembali menjadi ratusan dan akan menyuarakan kebenaran. Tidak hanya di kampus sampah ini. Bahkan kebenaran yang harus ada di negara ini.”

“Aku paham, San.”

“Satu lagi, orang-orang tulus dan pejuang kebenaran sepertiku, tak akan pernah dianggap dan malah akan diburu untuk dibunuh. Kau juga harus hati-hati, kawan.”

“Aku mengerti, San. Jaga keselamatanmu.”

Tanpa berpikir panjang aku bergegas mengambil barang-barangku dan berniat pergi ke tempat yang paling asing. Namun sebelum lurus pelarianku aku telah kalah. Ditengah perjalananku ingin menyembunyikan diri, aku telah dihadang oleh orang-orang yang lebih bodoh suruhan pejabat kampus keparat itu.
Aku dihajar habis oleh orang-orang bodoh itu. Mereka menghantamku dengan besi. Menusuk perutku dengan pisau. Memukuli wajahku dengan keras. Bahkan menggilaskan puntung rokok yang masih menyala ke pipiku yang lebam. Aku terkapar tak berdaya. Sendiri. Rasanya sakit. Perih. Ini memang takdirku. Dan kini aku telah bahagia.

Namaku Sandi. Seorang jurnalis kampus. Aku adalah mahasiswa semester 11 yang dihajar mati oleh orang-orang bodoh karena menyuarakan kebenaran.

9 Februari 2019
Selamat hari pers nasional.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer