Kita Tahu Apa Itu Yang Hilang

     

     Sore menjelang maghrib. Mahasiswa yang sibuk di kampus sejak pukul tujuh pagi itu bergegas kembali ke tempat persinggahannya masing-masing. Namun tidak semuanya. Ada yang masih setia dengan tugas di laptopnya, ada yang masih nongkrong di kantin yang sudah tutup, ada yang berpura-pura menelisik penyakit di kampusnya, dan ada yang hanya mengamati kesibukan orang-orang di kampus itu. Dan orang yang mengamati itu, aku.
     Aku adalah mahasiswa semester 4. Setiap menjelang maghrib, aku menyempatkan diri untuk memandangi dan mengamati satu per satu hal-hal yang dilakukan mahasiswa di kampus ini. Rasanya nikmat saja. Melihat wajah-wajah penerus bangsa yang setiap sore nampak lusuh. Ada juga beberapa wajah dari mahasiswa perempuan yang bedaknya sudah luntur karena terkena keringat ataupun air. Dan timbul pertanyaan di kepala saat melihat mereka berlalu lalang di hadapanku, kenapa wajah mereka sampai lusuh begitu saat akan kembali tempat ke persinggahannya? Apa ini ulah dari dosennya?

     Aku masih mencari jawaban dari pertanyaanku sendiri. Kemudian pikiranku bermain lagi. Meramu kembali pertanyaan hingga tercipta lagi. Bagaimana lagi wajah orang-orang yang melihat mereka berwajah lusuh itu? Aku masih berfikir nasib dari keluarganya di rumah ataupun teman-temannya di indekos. Bagaimana perasaan mereka, saat memberi relaksasi untuk pikiran lalu dirusak begitu saja dengan melihat wajah lusuh dari anak, saudara ataupun temannya?
     Sudah dapat ditebak. Pasti mereka akan sama lusuhnya dengan wajah-wajah orang yang sedang ditatapnya. Bisa jadi malah merasa sebal. Itu sebabnya setelah aku selesai dengan kesibukanku di kampus, aku tidak langsung pulang dan malah hinggap sebentar di samping gerbang. Di sana aku hanya menyegarkan pikiran. Tidaklah nyaman bukan jika saat keadaan lelah aku pulang langsung berhadapan dengan teman di indekos?
     Aku hanya ingin membuang rasa buruk yang ada dalam diriku. Biar sesampainya di indekos, aku merasa senang. Tanpa membuat orang lain semakin gusar saat melihat wajahku. Aku memang penuh topeng bukan?

     Hari ini aku menemui kegelisahan lagi. Sudah cukup, aku tidak mau lagi membahas wajah dan kelusuhan. Biar aku mengungkapkan hal yang hilang dari setiap diri mahasiswa.
     Semua orang juga tahu, jika sedang masanya UAS itu ya belajar. Bukan malah main game atau kelayapan. Dan sebagian orang tidak setuju dengan hal itu. Termasuk aku. Aku adalah orang yang suka bermain game. Tapi bukan berarti aku seorang gamers. Aku hanya menyukainya, oleh karena itu aku memainkannya.

     Menjelang UAS, setiap mahasiswa sudah pasti akan mencari materi dari semua mata kuliah yang ditempuhnya. Mereka kembali aktif dan ingat bahwa mereka adalah mahasiswa. Jiwa mahasiswa untuk menjadi agent of change pun keluar dari dalam dada dengan gelora yang membara. Dan saat UAS pula, mereka akan belajar sepenuhnya. Meminta doa kepada orang tua, teman ataupun pacar. Nah sudah terlihat ganjil bukan? Aku tidak setuju dengan alur yang dipakai oleh sebagian besar mahasiswa itu. Tuhkan, pikiranku kembali meramu pertanyaan-pertanyaan dari pernyataan di atas.
     Di indekosku, sebuah percakapan muncul dan membahas mengenai UAS. Lalu seorang teman bertanya,

     "Kau tidak belajar? Besok kau kan UAS." Aku hanya tersenyum dan menjawabnya santai.

     "Bukankah saat UAS belajar itu hanya formalitas?"

     "Formalitas? Apa maksudmu" jawab temanku agak cepat.

     "Loh mengapa hanya belajar disaat UAS saja? Biar dikira pintar? Kenapa tidak dari dulu sebelum masa UAS datang kau belajar? Atau kau saat ini belajar hanya menggugurkan kata biar dianggap tidak terlalu sok pintar karena tidak belajar untuk UAS?" jawabku sedikit pedas untuknya.

     "Tidak. Apa aku salah jika semalaman saat UAS aku ngotot belajar? Aku hanya sedang membuat jawaban." jawab temanku datar.

        "Oh, hei. Kau menyontek?"

     "Semua mahasiswa di kelasku begitu, kenapa aku tidak? Selagi masih bisa mendapatkan nilai yang bagus dengan menyontek kenapa pula aku harus rela semalaman menghafal kalimat per kalimat dari setiap mata kuliah yang aku tempuh. Hei, menyontek itu sudah menjadi tradisi bagi setiap orang. Marilah, kau kan sudah mahasiswa. Harusnya berpikir cerdas. Lagipula otakku tak akan mampu menampung semua materi kuliah. Daya ingatku tak sebaik mereka yang benar-benar ingat. Yang paling penting bagi orang-orang di luar sana itu hasil, bukan proses. Percuma kau banyak proses tapi hasilmu tak baik."


     Aku bernapas panjang lalu diam. Kemudian kembali mengingat sistem pendidikan yang ada di negara berkembang ini. Benar saja. Sejak pertama kali menjadi siswa, aku selalu disuruh untuk menghafal, menghafal, dan menghafal. Masyarakat dahulu barangkali sebagian sudah didoktrin penjajah untuk tidak berfikir lebih luas. Mungkin begitu. Sebab, setiap sekolah menganggap bahwa kepintaran siswa diukur dari seberapa banyak ia hafal materi pelajaran. Bukan seberapa mereka berfikir kreatif dari pelajaran itu. Semua ada batas, termasuk belajar pun ada batasnya. Orang-orang yang daya ingatnya tidak terlalu baik, mesti memilih jalan pintas untuk mendapat nilai. Dan hal itu terus terjadi, hingga saat ini. Pilihan jalan pintas itu selalu ada, entah dari pikiran siswa, mahasiswa, pejabat sekalipun.

     Aku menatap wajah temanku. Ia begitu serius. Mencatat materi di kertas kecil juga dengan tulisan kecil-kecilnya. Dan dari hal itu, kita tahu apa yang hilang dari setiap diri manusia. Terutama mereka yang menjadi mahasiswa. Yakni kejujuran. Sudahkah kita benar-benar jujur terhadap orang lain, Tuhan, bahkan terhadap diri sendiri? Ah, kau benar kawan. Kita sadar dengan sesuatu yang hilang itu. Tapi kita terus menghilangkannya. Yang paling parah malah menjadikannya tradisi kepada adik kita. 

     Malam masih dingin. Pukul sembilan, disini sudah sepi dan sunyi. Hanya ada kawanku yang sibuk membuat jawaban untuk UAS nya besok. Lalu aku kembali menatap kawanku. Sambil otakku terus meramu pertanyaan demi pertanyaan yang aku tidak tahu siapa yang mau menjawabnya.


Kendal, 11 Juli 2019

Komentar

Postingan Populer