LAKI-LAKI BUNGA TULIP
Hari ini matahari cukup terik. Sinarnya yang hangat menelusuri sela-sela sudut jalanan. Cahayanya yang berkilauan menyelinap masuk ke setiap toko di pinggir jalan hingga membuatnya menjadi indah dan menawan. Langit biru menyapu awan yang berkumpul kemudian angin mengibaskannya menuju tempat lain. Pukul sembilan pagi aku bergegas menuju toko bunga milikku. Sebenarnya toko ini adalah milik ibuku. Tapi karena sekarang ibu telah sibuk dengan toko kuenya maka akulah yang mengurus segalanya tentang toko bunga ini.
Toko bunga yang aku punya letaknya tak begitu jauh dari kota. Tepatnya di jalan Tegalsari Raya nomor 167, Candi, Kota Semarang. Toko ini juga tidak berada ditempat strategis, tetapi masih terjangkau oleh para penikmat bunga dan pembeli lainnya. Berbagai macam bunga telah kususun dengan rapi. Seperti biasa setelah aku selesai dengan semuanya, aku menyisihkan waktu lima belas menit untuk memandangi bunga-bunga yang indah itu. Bukankah sebuah bunga sekalipun perlu untuk diperhatikan.
Hingga matahari semakin meninggi, toko bunga milikku belum begitu ramai. Biasanya orang-orang dan pelanggan akan berkunjung pada jam makan siang. Benar saja, mereka tidak hanya akan sibuk mengurusi bunga seperti aku. Namun juga pekerjaan serta masa depannya. Tapi aku senang. Walau tak banyak dari orang-orang disini yang berkunjung tapi setidaknya mereka menyempatkan diri untuk melihat dan mencium aroma wangi bunga-bunga yang berada di toko ini.
Ting!
Suara bel itu memekik nyaring. Mengalunkan nada indah dan mengalihkan perhatianku yang sedang sibuk menata bunga. Aku bergegas bangkit dari hadapan bunga-bunga mawar. Laki-laki itu. Ia datang kembali. Aku melihat senyum samar yang melintas dibibir laki-laki itu. Seperti biasa, ia datang ke toko bunga ini lalu memandangi sekeliling toko dan menatap satu per satu bunga yang telah tertata. Yang paling aku herankan adalah bahwa laki-laki ini datang setiap minggu, di hari yang sama, pada jam yang sama dan juga pilihan bunga yang sama. Tulip.
Sudah lebih dari dua bulan laki-laki itu selalu datang, jadi wajar saja jika aku menyimpan rasa penasaran padanya. Penampilannya memang biasa saja. Kadang mengenakan kemeja, kadang juga menggunakan jaket hoodie. Parasnya bisa dibilang cukup menarik. Bisa dilihat juga dari gaya rambutnya yang rapi dan mukanya bahwa ia berasal dari keluarga yang berada. Setidaknya dari latar belakang pendidikan yang bagus. Tapi perlu diketahui, meskipun aku bertemu dengannya setiap minggu, di hari yang sama, dan jam yang sama, aku sama sekali tidak mengetahui siapa namanya.
Pernah sekali aku mencoba menyapa dan bertanya, tapi laki-laki itu hanya tersenyum sopan dan tidak menjawab sepatah kata pun. Tatapanya agak dingin. Tetapi saat senyum ramahnya merekah akan membuat hangat suasana. “Semuanya dua ratus tiga puluh tiga ribu.” Laki-laki itu mengeluarkan isi dompetnya. Dompet berbahan kulit dan berwarna coklat yang bisa dikira harganya cukup mahal. “Apa perlu saya jadikan buket untuk bunga ini?” Laki-laki itu hanya tersenyum dan menatapku sebentar. Aku segera mengerti dan paham. Bahwa maksudnya tidak perlu dijadikan buket. Ia segera membayar dan meninggalkan toko serta semakin meninggalkan tumpukan rasa penasaran tentangnya kepadaku. “Terima kasih atas kunjungan Anda! Semoga Anda berkenan datang kembali.” Seperti pertemuan sebelumnya, kami hanya saling bertukar senyum dan tanpa sepatah kata apapun dari mulut laki-laki itu. Aku tak habis pikir, ternyata masih ada laki-laki seperti itu yang menyukai bunga. Apalagi bunga tulip.
Di kota Semarang ini memang tidak banyak toko yang menjual bunga. Hanya beberapa saja. Toko milikku juga tidak terlalu besar. Tapi cukup untuk menampung berbagai jenis bunga yang indah dan harum baunya. Sebagian besar orang-orang yang berkunjung ke tokoku selalu bertanya mengenai bunga anggrek ungu dan bunga anggrek bulan bintang. Padahal jenis bunga itu sungguh langka. Kecuali jika dibudidayakan. Dan yang menarik perhatianku lagi adalah tentang laki-laki itu, yang setiap kali berkunjung hanya membeli bunga tulip. Ah kenapa aku ini, malah sibuk memikirkan laki-laki yang belum ku ketahui namanya itu.
Pukul empat sore aku menutup toko ini. Biasanya orang-orang sudah tidak tertarik lagi dengan bunga di sore hari dan aku hanya ingin mengenakkan anggapan mereka saja. Lagipula hari hampir petang. Lebih enak rasanya melepaskkan penat sambil berjalan menuntun sepeda menyusuri jalanan kota Semarang menuju pulang.
Aku mengendarai sepeda seorang diri. Sambil melihat lalu lalang manusia menumpahkan segala lelahnya di jalanan setelah penat bekerja. Aku mengayuh sepedaku menuju Taman Diponegoro Kota Semarang. Dari toko bunga ditempatku aku hanya perlu menuju kearah barat daya dan melalui jalan Kawi Raya, setelah itu aku akan melewati Rumah Sakit Elisabeth dan akhirnya aku sampai ke tempat tujuanku. Taman Diponegoro Kota Semarang.
Saat aku melewati Rumah Sakit Elisabeth, pandanganku tertuju pada seorang laki-laki. Ia terduduk sendiri. Seperti ada penyesalan dan beban yang ia rasakan. Barangkali orang-orang memang perlu menepi ketika sore hari tiba. Merenung atas kejadian-kejadian dihari yang telah dialami guna hari esok yang lebih baik. Tapi sekali lagi, laki-laki itu menunduk. Ditangannya membawa bunga tulip. Tunggu dulu, bunga tulip itu. Ah ternyata lelaki itu. Ia membawa bunga tulip yang masih terbungkus rapi dengan kertas berwarna coklat. Dan bunga itu masih indah. Aku mencoba mendekatinya namun hatiku berkata tidak usah. Aku hanya memandanginya dari jauh.
“Apa yang dia lakukan di taman Rumah Sakit ini?” hatiku tersentak bertanya saat tengah memandanginya.
Hampir setengah jam aku memandanginya dan laki-laki itu belum juga mengetahui keberadaanku. Itu artinya posisiku aman. Sebab ia tak merasa sedang ada yang mengintai. Namun ada perasaan yang mengusikku, tiba-tiba saja mendung menghampiri. Awan hitam bergumpal dan mengepung langit kota. Sepertinya memang hujan akan turun. Tanpa peduli lagi dengan laki-laki itu, aku segera pergi meninggalkan tempatku menuju rumah. Ku kayuh sepedaku dengan cepat. Berharap ingin segera sampai ke rumah tempat tinggalku.
Benar saja. Sesampainya di rumah hujan turun cukup deras. Untung saja aku mengayuh sepeda dengan cepat. Jika tidak, mungkin sekarang aku masih menunggu hujan reda di jalanan.
“Lan, ganti bajumu. Ibu takut kalau kau sakit jika tidak segera membersihkan tubuhmu.” Suara parau perempuan paruh baya itu terdengar jelas ditelingaku. Aku bergegas menuju dapur dan mencium tangan ibuku. Setelah itu aku menyusuri lorong untuk menuju kamar mandi.
Byuurrr…!!!
Dingin. Rasanya dingin sekali. Terlebih lagi suasana diluar rumah sedang hujan. Namun jika aku tidak segera mandi, bisa jadi aku akan demam. Entah apa yang menyerang tubuhku ini. Ketika aku tidak segera mengguyur tubuhku ini dengan air setelah melewati Rumah Sakit Elisabeth maka aku akan demam. Hal itu sudah pernah aku buktikan ketika aku kelas dua SMA. Selesai mandi aku segera mengeringkan tubuhku dan memakai pakaian. Tak lupa pula aku langsung menuju dapur dan membantu ibu memasukkan kue-kue kedalam toples.
“Bagaimana pekerjaanmu di toko bunga?” tanya ibu kepadaku dengan ramah.
“Seperti biasa, bu. Berjalan lancar. Pengunjung juga cukup banyak. Dan aku kehabisan beberapa jenis bunga.” Sambil menjawab pertanyaan ibu, aku berjalan ke lemari es untuk mengambil susu setelah selesai memasukkan kue ke dalam toples.
“Besok ada pesanan buket jumbo mawar merah dari bapak Walikota. Sepertinya untuk perayaan ulang tahun anak bungsunya, ya?”
“Jangan hanya bekerja terus Lani. Kau ini sudah cukup umur loh! Jadi, kapan kamu mau menikah?” aku hanya terkekeh kecil mendengar pertanyaan ibu yang baru saja ini.
“Tokomu juga sudah cukup sukses. Sudah seharusnya kamu mulai memikirkan dirimu sendiri, Nak.” Tandas ibu menatapku dengan tatapan harap bahkan menyuruhku untuk segera melepas status lajangku. Tapi menurutku, menikah tidak semudah apa yang telah direncanakan. Semua butuh kematangan dan persiapan yang panjang.
Saat aku ingin menjawab pertanyaan ibu, laki-laki misterius itu melintas dipikiranku. Ada apa dengan aku ini? Tahu namanya saja tidak. Lagipula aku juga belum tahu tentangnya.
“Kenapa, Lani? Apa ada sesuatu yang terjadi? Kok malah melamun seperti itu?” tegur ibu sambil melirikku dan menatapku dengan tatapan nanar.
Aku segera tersenyum membalas pertanyan ibu. “Tidak apa-apa bu. Sudahlah, jangan bahas itu lagi. Aku ke kamar dulu, ya, bu.” Ibu mengiyakan saja. Tetapi sebelum sampai ke kamar aku melihat Headline berita di TV yang menarik perhatianku.
Sebuah bom meledak di Rumah Sakit Elisabeth Kota Semarang. Banyak korban jiwa yang meninggal akibat bom ledakan tersebut. Seketika aku memikirkan laki-laki bunga tulip yang duduk termenung di taman rumah sakit. Berbagai pertanyaan pun muncul di kepalaku. Apa dia termasuk korbannya. Ataukah dia selamat dari ledakan bom itu. kepalaku terasa sakit saat memikirkan laki-laki itu. Tapi sepertinya aku memang perlu istirahat dulu. Sudah hampir seminggu badanku tidak enak. Namun aku tak pernah merasakan tidak enaknya badanku ini.
Dua minggu berlalu dari kejadian ledakan bom di rumah sakit Elisabeth Kota Semarang. Aku pun kembali membuka toko bunga milikku. Sejak kejadian itu beberapa toko di kawasan rumah sakit Elisabeth memang tutup. Mereka khawatir akan terror ataupun akan terjadinya ledakan itu lagi. Dan aku hanya berbiasa saja. Di rumah bersama ibu dengan kue-kuenya. Untung saja aku punya kesibukan lain selain mengurus bunga. Yakni membantu ibuku.
Sesaat setelah aku melintas di depan rumah sakit itu, aku melihat puing-puing serpihan kaca dan bangunan yang sudah hampir hancur. Disana masih ramai orang dan polisi yang bertugas. Aku hanya menatap dan diam. Kejadian itu seperti mimpi dalam hidupku. Rasanya baru saja aku tinggal untuk pulang sebab hujan. Tetapi Tuhan memang baik hati. Dia mengirimkan hujan supaya aku segera pulang sehingga tidak menjadi korban dari ledakan bom di rumah sakit itu.
Seperti biasa. Saat aku sampai di toko bunga milikku. Aku kembali menata bunga-bunga yang telah lama aku tinggalkan. Beberapa bunga ada yag layu karena memang tidak aku urus. Dan bunga-bunga tulip itu semakin indah. Yang berwarna kuning memancarkan sinar penuh cinta. Dan yang berwarna merah semakin membuat senyumku merekah saat aku memperhatikannya. Hari hampir siang. Tidak terasa bunga-bunga yang telah aku tinggalkan telah rapi kembali.
Di beranda tokoku. Aku melihat seorang laki-laki yang memakai topi. Dengan jaket abu-abu dan celana jeansnya yang biru. Ia memandang. Memperhatikan tokoku. Tubuhnya tegap dan kemudian ia berjalan menuju pintu masuk toko bungaku. Ting! Bunyi itu. aku hapal betul mengenai bunyi itu. Bunyi nyaring itu menandakan bahwa ada pelanggan yang datang. Aku kembali menebak tentang laki-laki bertopi itu. Dan seperti mimpi saja. Ternyata ia adalah laki-laki bunga tulip itu. Kini ia berbeda. Kakinya sedikit pincang. Apa ini akibat dari ledakan bom di rumah sakit itu dua minggu yang lalu? Aku hanya menerka saja.
Laki-laki itu menghampiriku. Mulutnya bergerak dengan pelan. Kemudian sebuah pertanyaan keluar dari mulutnya. “Kemana tokomu selama dua minggu ini?” aku kaget bukan kepalang. Tubuhku terasa panas dan hatiku seperti mencelos ingin keluar. Bersamaan dengan itu, ada perasaan asing yang melesak didadaku. Perasaan hangat yang meliuk melalui urat nadiku. Aku tergagap dan hanya diam menatap mata laki-laki itu.
“Hei..,” sapaannya membuat buyar lamunanku. Ia bingung dengan apa yang aku alami. Jadi langsung saja aku mengalihkan perhatiannya dariku dengan jawaban yang tak bisa dikarang-karang oleh mulutku. “Tokoku tetap disini. Tidak kemana-mana.” Laki-laki itu bertambah bingung atas jawaban yang telah keluar dari mulutku. Bagiku, ini adalah kali pertama aku dapat berbicara dengan laki-laki yang setiap kunjungannya ke toko bunga ini selalu aku perhatikan.
“Oh iya. Sejak kau berkunjung ke toko bunga ini, aku belum tahu siapa namamu. Aku Lani.” Aku mengulurkan tangan dan berharap ada balasan hangat atas tindakan yang telah aku lakukan.
“Namaku Ihsan.” Balasnya menjabat tanganku. Ah ya, ternyata suara laki-laki ini tidak terlalu berat dan malah terdengar nyaman. Setelah memberi tahu tentang namanya, laki-laki itu menuju ke tempat bunga tulip. Sekali lagi, bunga tulip masih menjadi kegemarannya untuk berkunjung ke toko ini. Tujuh tangkai bunga tulip diletakkan diatas meja kasir. Suasana menjadi hening lagi. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya mengumpulkan tangkai bunga itu dengan tangan berkeringat dingin. Namun, wajah laki-laki itu terlihat tenang.
“Semuanya tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah, mau dibuat buket?” Laki-laki itu menggeleng dan tersenyum. Seperti biasa. Sepertinya memang tidak ada yang berubah. Selagi ia mengeluarkan uang dari dalam dompetnya, aku mencoba menghilangkan rasa penasaranku tentangnya.
“Maaf, boleh aku bertanya?” aku terlalu terburu-buru bertanya saat laki-laki itu menyerahkan uangnya.
“Dua minggu yang lalu aku melihatmu terduduk di taman rumah sakit. Sebelumnya, aku juga memperhatikan gayamu saat berkunjung ke toko bunga ini. Sekali dalam satu minggu, dihari rabu pada jam yang sama. Tapi setelah itu aku memang tidak membuka tokoku selama dua minggu. Untuk menenangkan pikiranku dari ledakan bom di rumah sakit itu. Dan kali ini aku melihatmu lagi, dengan kaki sedikit pincang. Apa ada sesuatu yang terjadi?” Laki-laki itu tertawa pelan. Kemudian ia menghela napas agak panjang.
“Tidak ada sesuatu yang terjadi. Aku hanya terkena kecelakaan kecil yang membuat kakiku lecet.” Aku tertegun mendengar jawabannya. Sebab yang aku pikirkan ialah posisinya yang waktu itu berada di rumah sakit. Dan aku pikir laki-laki ini telah tiada. Ternyata aku salah. Tepat dihadapanku adalah laki-laki yang sering mengusik dipikiranku.
“Tapi, ngomong-ngomong kenapa kamu selalu membeli bunga tulip? Apa ada alasan tertentu?” aku kembali menenangkan perasaanku yang teramat senang ketika dapat berbicara dengan laki-laki itu. Bagaimanapun, aku tidak boleh terburu-buru untuk mengetahui sesuatu hal tentangnya. Aku hanya ingin mengulur waktu lebih lama supaya bisa mengenalnya lebih dekat. Entah apa-apa saja yang meracuni otakku ini hingga membuatku tertarik pada laki-laki bunga tulip yang berada dihadapanku.
Dan sekali lagi ia hanya tertawa kecil. Sebuah pesan masuk di ponselnya. Laki-laki itu hanya membaca, dan sepertinya tidak membals pesan yang ia terima.
“Kenapa harus tulip, ya?” Ihsan bergumam pelan. Ada perubahan yang teramat jelas dari wajahnya. Terlihat seperti ada beban dan sesuatu hal yang mengurung dirinya. Tapi, sebelum aku sempat menyimpulkannya sebagai ekspresi kesedihan, laki-laki itu kembali tertawa kecil. “Tidak ada alasan khusus. Semua orang memiliki bunga favoritnya masing-masing, dan aku memilih bunga tulip saja.”
“Aku senang melihat kunjungan rutinmu ke sini. Setidaknya itu berarti kamu mempercayai toko kami. Terima kasih banyak.” Ihsan kembali tersenyum. Sebelum meninggalkan toko bunga milik Lani, suara nyaman dari mulut laki-laki itu pun terdengar.
“Lani, meskipun ini terdengar lancang, bisakah aku meminta bantuanmu?”
“Eh, bantuan seperti apa yang kamu butuhkan?”
Ihsan menarik napas panjang. Aku hanya menunggu dengan cemas.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat!”
Aku tercengang. Ajakan pergi ke suatu tempat pada pertemuan pertama? Ah ya, ini bukan pertemuan pertama. Aku hanya baru saja berkenalan dengannya lima menit yang lalu.
“Ah maksudku bukan seperti itu. ini bukan ajakan jalan atau berkencan. Aku hanya ingin kau tahu mengenai alasan setiap kali aku membeli tuli-tulip ini. Dan sekarang aku telah datang pada orang yang tepat.” Apa maksud laki-laki ini? Sungguh kalimat terakhirnya diucapkan dengan sedikit nada kecewa.
“Kalau kamu keberatan, jangan sungkan untuk menolaknya. Lagipula ini adalah salahku yang terlalu lancang terhadapmu.”
“Apa bantuanku begitu kau butuhkan?” senyum laki-laki itu kembali lagi. Ia menatapku dengan tatapan harap. Matanya berbinar. Dan parasnya masih menawan seperti biasanya.
“Baik. Ini tentang bunga. Juga alasan mengapa aku menyukai bunga tulip.”
Dengan rasa penasaran yang semakin bergumul di perasaanku, aku mengiyakan saja ajakannya. Sebuah alamat jelas tertulis pada kertas yang telah Ihsan berikan kepadaku. Ia memberiku alamat rumah, tepatnya Jl. Suyudono depan SMP N 40 Semarang. Ah ternyata laki-laki ini tinggal disini. Sewaktu kecil aku seringkali melintas di jalanan ini. Bersama ayah dan kakak laki-lakiku. Itu enam belas tahun yang lalu, sewaktu aku masih berumur enam tahun. Jalanan itu terlihat asri. Terasa nyaman kala berjalan dibawah pohon-pohon yang meneduhkan jalanan. Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Lusa aku akan tahu mengenai kenangan yang pernah membekas di jalan Suyudono itu.
Selepas pertemuan dan obrolan di toko bunga, aku kembali melamun dan memikirkan laki-laki itu saat berada di rumah. Bukankah segala rasa penasaranku akan terjawab lusa nanti? Tapi aku terus saja tidak bisa fokus. Laki-laki itu memiliki daya tarik tersendiri hingga mampu menghipnotis otakku.
Hari itu pun tiba. Pukul dua siang, sesuai permintaannya aku datang menuju alamat yang telah diberikannya. Tubuhku tegang. Tanganku terus mengeluarkan keringat dingin. Namun beda rasanya saat aku menatap jalanan penuh kenangan ini. Aku telah sampai, pada jalan yang mengingatkanku pada masa kecil. Seketika bayangan ayah dan kakak laki-lakiku terlintas dalam memori. Ayah mengayuh sepedanya meninggalkan aku dan kakakku yang terpontang-panting mengejarnya. Hangat. Rasanya hangat saat mengenang masa-masa itu. tapi itu hanyalah kenangan. Ayah dan kakak laki-lakiku telah pergi untuk selamanya saat aku berusia delapan tahun. Waktu yang singkat.
Sebuah kecelakaan beruntun mengakibatkan ayah dan kakakku meninggal. Bukan. Bukan di jalanan ini. Melainkan di bundaran Simpang lima saat ada acara pesta rakyat disana. Sudahlah, itu hanya masa lalu. Aku hanya perlu mengenang kebahagiaan yang telah terukir pada jalan Suyudono ini. Yakni jalanan yang mengantarkanku bertemu dengan Ihsan. Laki-laki bunga tulip.
Sesampainya di alamat yang diberikan Ihsan, aku pun menatap satu per satu rumah yang aku lihat di jalan itu sambil mencocokkan dengan alamat yang telah kubawa. Aku melihat sebuah rumah, bercat oranye dan dikelilingi oleh berbagai jenis bunga. Dan kebanyakan bunga itu adalah bunga tulip. Aku menatapnya lagi supaya terlihat jelas. Benar. Tulip. Rumah yang aku cari sudah ketemu.
“Hai, Nona Lani.” Sebuah suara datang dari samping rumah yang sedang aku tatap. Aku mencari suara itu. Ihsan. Suaranya persis dengan Ihsan. Aku hanya sempat melihatya sekilas. Ternyata memang Ihsan. Laki-laki dengan suara paling nyaman yang aku dengar setelah suara ayahku.
“Kau sudah datang? Kemarilah. Akan aku tunjukan tempat yang sempat kujanjikan kepadamu.”
Aku mengikuti langkah laki-laki itu. Sebenarnya kemana dia akan mengajakku. Kebun belakang rumah? Ternyata benar. Seketika mataku terbelalak kala telah sampai di kebun belakang rumah milik Ihsan. Bunga-bunga itu nampak indah. Tercium bau wangi. Warna-warni bunga tulip terasa apik dengan cahaya matahari tak langsung.
“Bagaimana? Bukankah aku sudah datang pada orang yang tepat?” seru Ihsan membuyarkan khayalanku tentang bunga tulip ini. Tetapi aku malah bingung. Tidak tahu apa yang dimaksud laki-laki di depanku itu.
“Apa maksudmu?” tanyaku penasaran dengan laki-laki bunga tulip itu.
“Hal ini yang ingin aku sampaikan kepadamu. Bunga-bunga tulip ini bisa kau bawa pulang kembali. Aku sudah tidak kuat jika harus merawatnya sendiri. Tiga minggu yang lalu, seminggu sebelum ledakan bom di Rumah Sakit Elisabeth. Kekasihku pergi untuk selamanya.”
………………………………………………….
*Sengaja, aku tidak ingin menuntaskan cerpen ini.
*Semoga yang terlanjur membaca tidak kecewa.
*Terima kasih
*ditulis bulan April lalu
Komentar
Posting Komentar