Mbah Seman
Mbah Seman
(gmbr by rdrbntn.com)
“Ya Nabi Salam ‘Alaika.. Ya Rasul Salam ‘Alaika.. Ya Habib Salam ‘Alaika.. Sholawatullah ‘Alaika..”
Bibirnya masih berkomat-kamit mendendangkan sholawat untuk Nabi yang paling dicintainya. Matanya yang sayu terpejam, kakinya yang terlihat gemetar berdiri dibawah pohon rindang yang tak jauh dari tanah lapang di desanya. Angin sore yang lumayan kencang, menghembus ke dadanya. Wajah keriput dan tulang pipi yang menonjol menjadi bukti bahwa usianya tak lagi muda.
“Mbah.. Mbaahh..” teriak seorang bocah yang berlari menghampiri lelaki tua yang berdiri di bawah pohon rindang itu. Namun, lelaki tua itu tak bergidik. Ia tetap berdiri sambil berkomat-kamit.
“Mbah Seman.. Ayoo pulang!” teriak lagi suara bocah yang hampir mendekati lelaki tua itu.
Mbah Seman adalah lelaki tua yang berdiri di bawah pohon rindang yang tak jauh dari tanah lapang. Pendengarannya sudah tidak lagi bagus, wajar saja jika ia tidak mendengar seruan bocah tujuh tahun itu dari kejauhan. Saat bocah itu sampai di belakang tubuh Mbah Seman, ia menatap tegang. Rupanya Mbah Seman dalam posisi khidmat. Mata terpejam, kaki gemetar, dan bibir komat-kamit. Angin kencang yang berhembus menambah kekhusyukan Mbah Seman dalam berkomat-kamit.
“Mbah..” ucap bocah tujuh tahun itu sambil menepuk pundak Mbah Seman.
“Le, kamu pulang saja dulu. Aku masih menunggu Kanjeng Nabi datang, beliau sedang perjalanan menuju kemari beramai-ramai..” ujar Mbah Seman kepada bocah cilik itu.
Seketika bocah tujuh tahun itu bingung, tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh Mbah Seman. Akhirnya ia pulang dan memberitahu kepada bapaknya bahwa Mbah Seman belum ingin pulang. Sementara itu, langit berubah menjadi mendung namun belum turun hujan. Tetapi, Surahmad, bapak dari bocah tujuh tahun itu khawatir dengan Mbah Seman yang masih di bawah pohon itu. Ia khawatir jika nanti Mbah Seman akan kehujanan karena melihat langit yang sudah mendung pertanda turun hujan. Surahmad pun menyusul Mbah Seman ke tanah lapang itu.
“Mbah, sudah mendung. Sepertinya akan turun hujan. Mari kita pulang.” Ujar Surahmad sesampainya di tempat Mbah Seman.
Masih diposisi yang sama. Mata sayu, kaki bergetar, dan bibir berkomat-kamit. Mbah Seman tetap belum ingin beranjak dari tanah yang ia pijak. Tubuhnya yang kurus dan hanya berbalut baju putih dan sarung serta kepala berbalut kopyah itu terlihat masih kokoh berdiri untuk menunggu Kanjeng Nabi yang akan datang, katanya.
“Mbah, ayo pulang. Anginnya sedang kencang, nanti sampeyan masuk angin.” bujuk Surahmad kepada Mbah Seman. Bibirnya masih berkomat-kamit. Tetapi kali ini berbeda, matanya yang sayu masih terpejam. Sementara bibirnya kini berbicara dengan Surahmad.
“Mad, mendung bukan berarti pasti turun hujan.” ucap Mbah Seman kepada Surahmad.
“tapi siang tadi sangat panas mbah, dan mungkin Allah akan menurunkan hujan untuk kita.” sahut Surahmad.
“Mad, orang-orang awam seperti kita ini memang cepat sekali menyimpulkan sebuah keadaan tanpa menilik hal yang akan terjadi di luar nalar. Ini bulan Maulid. Bulan kelahiran Nabi. Langit yang mendung itu sedang menyambut Kanjeng Nabi, supaya beliau tidak kepanasan saat menuju kemari, Mad.” tambah Mbah Seman.
Mendengar perkataan Mbah Seman, Surahmad hanya menunduk. Ia tidak menyadari kalau bulan ini adalah bulan Maulid.
Ternyata Mbah Seman bukan orang tua sepuh seperti yang lainnya. Mbah Seman berbeda. Di kampungnya, ia sering dianggap gila karena bertingkah aneh dan kadang sering merepotkan warga. Mbah Seman yang biasanya berteriak-teriak di depan masjid sambil memakai kalung dari sandal itu kini memang tak seperti biasanya. Meski Surahmad bukanlah anak dari Mbah Seman, tapi ia merasa bertanggungjawab untuk menjaga Mbah Seman.
Seringkali lelaki tua itu dijauhi oleh warga kampungnya dan malah hendak diusir dari tempat tinggalnya sendiri. Hanya karena mereka merasa bahwa Mbah Seman sering meresahkan warga.
Tahun lalu, pada suatu sore, lelaki tua itu pernah menyirami masjid dengan kotoran sapi. Ia sengaja melakukannya. Namun perbuatannya malah mengundang kemarahan warga.
“Dasar lelaki tua gila!”
“Rumah Allah malah dikotori!”
“ini bukan perbuatan yang bisa dimaafkan!”
“Usir saja dia Pak RT!”
Kalimat itu keluar dari mulut-mulut warga yang tidak suka dengan Mbah Seman. Padahal, apa yang dilakukan Mbah Seman itu semata untuk mengingatkan warga agar ingat kepada Allah. Masjid yang setiap tahunnya direnovasi dan dijadikan tempat paling megah di kampungnya itu tidak pernah dikunjungi warganya. Malahan, warga kampung lebih senang meramaikan warung kopi yang ada wifinya daripada meramaikan masjid yang telah dibuat dengan megahnya.
Tetapi tidak semua warga kampung itu membenci Mbah Seman. Ada yang merasa memiliki hiburan ketika Mbah Seman bertingkah aneh. Sebab tingkahnya sering mengundang tawa. Sebenarnya kasihan. Lelaki paruh baya itu hanya tinggal di sebuah rumah yang hanya berisi ruangan untuk tidur saja. Untuk urusan makan, Surahmad dengan rela menyediakan untuk Mbah Seman. Lelaki tua itu bisa kapan sja makan di tempat Surahmad. Ia merasa iba dengan kehidupan Mbah Seman yang di usia tuanya hanya hidup sendirian. Semua keluarganya telah lama meninggal, termasuk istri dan anaknya.
Dan sore ini, tingkah Mbah Seman tidak seperti biasanya. Sejak jam 2 siang, ia telah sibuk menata diri dan pergi menuju tanah lapang yang ada pohon rindangnya. Awalnya Surahmad hanya berbiasa. Namun setelah asar, Mbah Seman tidak kunjung pulang. Oleh karena itu, Surahmad menyuruh anaknya untuk menjemput Mbah Seman di tanah lapang. Hingga sekarang, lelaki tua itu tak kunjung ingin meninggalkan tempatnya berpijak sebelum bertemu dengan Kanjeng Nabi yang dicintainya. Angin berhembus sejuk. Dan langit masih mendung. Surahmad yang kalah untuk membujuk Mbah Seman agar pulang kini kaget dalam lamunannya.
“Mad, kanjeng Nabi sudah hampir sampai. Mari bersholawatlah. Kita ini umat akhir zaman, yang lebih khawatir esok tidak bisa makan daripada sisa hidup yang berkurang. Bersholawatlah kepada Kanjeng Nabi, Mad. Agar kita mendapat syafaatnya dan diakui sebagai umatnya.” Ujar Mbah Seman yang masih menutup mata sayunya.
Surahmad tidak bisa menahan air mata. Ia merasa kagum kepada lelaki tua itu. Meski sering dianggap gila oleh warga di kampungnya, namun hati Mbah Seman tidak pernah gila. Justru lelaki tua itu adalah sosok manusia yang paling waras hatinya.
“Mbah, semoga engkau diberi umur panjang. Agar aku bisa lebih banyak belajar denganmu.” rintih Surahmad di dalam hatinya.
Adzan maghrib hampir tiba. Dan langit masih mendung. Angin berhembus lembut menyapu tubuh dua lelaki yang berdiri di bawah pohon yang tak jauh dari tanah lapang di kampungnya. Bibir Mbah Seman terus berkomat-kamit mengucapkan sholawat kepada Kanjeng Nabi dan Surahmad mengikuti.
“Ya Nabi Salam ‘Alaika.. Ya Rasul Salam ‘Alaika.. Ya Habib Salam ‘Alaika.. Sholawatullah ‘Alaika..”
menuju kelahiran Nabi,
11 Rabiul Awal
.
Cerpen, by devikhofifaturrizqi
Komentar
Posting Komentar